Judul : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. MursidiPenerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : Pertama, 2013
Tebal : xiv + 245 halaman
ISBN : 978-602-020-594-6
Harga : Rp. 44.800,-
Nama N. Mursidi bisa dibilang bukan nama baru di kancah kepenulisan,
terutama majalah dan koran. Hampir setiap hari Minggu namanya menghiasai
kolom-kolom opini, resensi, esai atau cerpen beberapa koran nasional.
Semua itu bukan dilaluinya dengan mulus. Jalan terjal dan berliku kerap
ditemuinya sejak kali pertama menapaki dunia kepenulisan. Pahit-manis
dan jatuh-bangun sudah dilaluinya selama menjalani proses kepenulisan.
Tak sekali pun dia mengambil “jalan pintas” dengan memplagiat karya
orang lain seperti yang akhir-akhir ini terjadi dan sempat menjadi
perbincangan hangat di media sosial Facebook dan Twitter.
Jalan kepenulisan yang dilalui N. Mursidi bisa dibilang karena sebuah
“kecelakaan” sejarah hidup yang ditempuhnya. Sebelumnya dia tak pernah
sekali pun bermimpi menjadi seorang penulis apalagi wartawan. Di antara
keluarganya dia bisa dibilang anak yang kurang membanggakan, terutama
jika dibandingkan dengan adik dan kakaknya yang mampu menorehkan
prestasi dan berhasil lolos seleksi masuk di sekolah Negeri. Sementara
N. Mursidi hanya “mentok” di sekolah swasta semenjak lulus Sekolah
Dasar.
Buku memoar Tidur Berbantal Koran ini menceritakan rekam-jejak
kepenulisan serta perjalanan N. Mursidi sejak kali pertama merantau ke
Yogyakarta untuk menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi
swasta--setelah sebelumnya berkali-kali gagal mengikuti UMPTN. Orangtua
N. Mursidi hanya seorang pedagang pakaian. Mereka menyarankan
anak-anaknya untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi Negeri agar biaya
SPP-nya lebih ringan.
Tapi, N. Mursidi berusaha meyakinkan kedua orangtuanya. Kelak di
Yogyakarta dia akan bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan biaya
kuliahnya. Karena dia tidak yakin mampu membiayai kuliah jika hanya
mengandalkan kiriman orangtua.
Kekhawatiran orangtuanya terbukti. Setelah menjalani semester pertama,
N. Mursidi tidak mampu lagi membayar SPP. Apalagi, dia mendapat kabar
dari kampung bahwa Ayahnya sakit dan sudah tidak bisa bekerja lagi di
pasar. N. Mursidi terpaksa harus berhenti kuliah. Karena untuk mengambil
cuti, di kampusnya ada peraturan minimal mahasiswa sudah menjalani masa
kuliah selama dua semester (halaman 43).
Tapi, N. Mursidi tidak menyerah begitu saja. Dia pantang pulang kampung
demi harga dirinya, meskipun berkali-kali Ibunya menyuruh pulang untuk
membantu berdagang di pasar untuk melanjutkan usaha Ayahnya. N. Mursidi
tetap memilih hidup di kota Gudeg dengan bekerja sebagai penjual koran,
sebuah pekerjaan yang sudah dijalaninya sebelum memutuskan berhenti
kuliah. Keputusan untuk berjualan koran itu dilakukannya setelah
mendapat tawaran dari salah seorang teman satu kontrakan yang juga teman
masa kecilnya di kampung.
Sejak itulah dia mengenal dan menghirup aroma kehidupan di jalanan.
Berpindah-pindah dari bus satu ke bus lainnya sudah menjadi rutinitasnya
setiap hari. Di jalanan itu dia mengenal kerasnya hidup di kota besar
seperti Yogyakarta. Berjuang demi mempertahankan hidup bersama
teman-teman sesama pedagang asongan di jalanan.
Aroma dan aksi kejahatan di depan mata kerap juga ditemuinya di jalanan.
Dia banyak mengenal preman atau pencopet selama berjualan koran dari
bus ke bus. Hatinya berontak dan ingin berteriak setiap kali melihat
aksi kejahatan di depan matanya, terutama ketika di dalam bus dia
melihat aksi beberapa pencopet yang dengan gesit memindahkan dompet
penumpang ke tangannya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan aksi
para pencopet itu. Dia sudah diberi isyarat dengan “kedipan mata” agar
diam melihat kejadian itu. Kernet bus pun tahu apa yang dilakukan oleh
para pencopet itu. Tapi, dia diam saja seakan tidak terjadi apa-apa
(halaman 51).
Sementara itu, keputusan N. Mursidi untuk belajar menulis secara
autodidak bermula dari sebuah kejadian, yaitu ketika seorang abang becak
membeli korannya. Abang becak itu mengatakan, kalau dia tidak ingin
ketinggalan informasi meskipun profesinya hanya sebagai tukang becak. N.
Mursidi terenyuh sekaligus tersindir. Dia yang setiap hari bersentuhan
dengan koran tak sekali pun tertarik untuk membaca koran yang dijualnya,
kecuali hanya sekilas di halaman depan koran. Dia pun mengikuti jejak
abang becak dengan membaca koran-koran yang dijualnya (halaman 5). Di
koran itu dia sering melihat kolom-kolom resensi buku, opini atau cerpen
yang ditulis oleh mahasiswa. Dia berpikir, kalau mereka bisa, kenapa
dia tidak? Bukankah dia juga pernah menjadi mahasiswa?
Pikiran-pikiran itu membuatnya ingin belajar dengan serius dari
koran-koran yang dibacanya. Secara autodidak dia mulai menulis dan
mengirimkannya ke media di media-media lokal di Yogyakarta.Berkat
kegigihannya belajar menulis secara otodidak itulah, dia tidak hanya
berhasil menembus media lokal, tapi merambah media nasional seperti
harian Seputar Indonesia, Detik, Jawa Pos, Kompas dan yang lainnya.
Bahkan, dia berhasil menjadi seorang wartawan dan tulisan-tulisannya
mulai bertebaran di banyak media.
Posting Komentar