Kendati asosiasi pengembang yang tergabung dalam DPP Real Estate
Indonesia (REI) mencatat anjloknya penjualan selama kuartal I 2015
sebesar 50 persen, namun itu dianggap bukan representasi bisnis properti
secara umum.
Angka penurunan 50 persen yang dilontarkan Ketua
Umum DPP REI Eddy Hussy saat pembukaan "REI Expo 2015" Sabtu (2/5/2015)
pun masih dipertanyakan. Apakah penurunan tersebut merujuk pada segmen
bawah, menengah-bawah, menengah-menengah, menengah-atas, atau mewah.
Demikian
halnya dengan jenis properti, apakah hunian tapak, apartemen, komersial
perkantoran, atau pusat belanja strata, dan kawasan industri.
Beberapa
pengembang dan praktisi bisnis properti justru mengungkapkan data
sebaliknya, penjualan mengalami lonjakan tajam, pasca libur akhir tahun
2014. Bahkan, untuk produk-produk dengan ekspektasi normal pun,
penjualan bisa melampaui target.
Direktur Keuangan, dan
Sekretaris Perusahaan PT Pakuwon Jati Tbk., Minarto Basuki, menepis
anggapan bisnis properti sedang terpuruk. Menurut dia, anjloknya
penjualan tidak bisa digeneralisasi demikian sederhana.
"Memang
terjadi perlambatan pada kuartal I 2015 jika dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya. Namun, penjualan tetap tumbuh. Buktinya perumahan
Grand Pakuwon di Surabaya Barat, berkontribusi signifikan terhadap
total pendapatan pengembangan (development revenue) perseroan senilai Rp 626 miliar," tutur Minarto kepada Kompas.com, Senin (4/5/2015).
Minarto melanjutkan, bisnis properti sangat lokal sifatnya. Tergantung pada region (daerah), spesifikasi produk, segmen pasar yang dibidik, serta ketepatan waktu rilis (timing).
"Produk
kami untuk saat ini masih disambut antusias pasar. Tak hanya Grand
Pakuwon, melainkan juga perkantoran Tunjungan Plaza 5, kondominium
Orchard dan Tanglin di supermal Pakuwon Indah, dan rumah-rumah Pakuwon
City," tambah Minarto.
Demikian halnya dengan Ciputra World
Office Tower Surabaya yang dibesut PT Ciputra Surya Tbk. Perkantoran
strata dengan luas bangunan 40.316 meter persegi setinggi 23 lantai,
tersebut terserap pasar sekitar 80 persen.
"Padahal, kami baru
menawarkan perkantoran ini kepada publik pada Selasa, 14 April 2015
dengan harga perdana Rp 30 juta per meter persegi. Tentu ada variasi
harga tergantung lantai, dan luasan ruang yang dibeli," tutur Direktur
Utama PT Ciputra Surya Tbk., Harun Hajadi.
Harun menambahkan,
selain perkantoran, produk yang mereka kembangkan lainnya adalah SOHO
Skyloft yang terjual 85 persen dengan harga perdana Rp 25 juta per meter
persegi. SOHO terbilang konsep baru di Surabaya, sama halnya dengan
gedung perkantoran strata.
"Hal itu membuktikan bahwa pasar masih
positif, dan belum terkoreksi. Saya bukan ekonom yang bisa memprediksi
apakah pertengahan tahun ini bakal naik atau justru turun. Yang pasti,
penjualan masih bagus," kata Harun.
Dia menengarai, penjualan
properti para pengembang lain turun bisa jadi karena banyaknya wacana
yang dilontarkan pemerintah pada awal tahun ini. Sebut saja peraturan
mengenai perpajakan, macam PBB, PPN, atau PPnBM.
Wacana tersebut
diakui sempat menahan para investor dan pembeli merealisasikan
pembelian. Ketidakpastian tersebut memang berdampak besar bagi segmen
pasar properti menengah ke atas.
Selain wacana perpajakan yang
belum jelas, kata Harun, depresiasi Rupiah juga ikut menentukan kinerja
sektor properti selama triwulan pertama 2015. Menurut dia, properti
selalu terpengaruh kalau mata uang Rupiah selalu bergejolak.
"Sekarang
relatif stabil. Mau Rp 13.000 per satu dollar AS atau Rp 9.000 per satu
dollar AS, selama tidak naik turun atau stabil, itu akan menstimulasi
pertumbuhan properti," ujar Harun.
Sementara itu, COO PT Intiland
Development Tbk, Sinarto Dharmawan mengungkapkan, penjualan apartemen
mewah Sumatera 36 sudah terjual separuhnya dari total 63 unit. Harganya
pun tak bisa dibilang murah yakni Rp 36 juta per meter persegi.
Begitu
pula dengan penjualan Spazio Tower 2 yang sudah terserap 60 unit dari
200 unit yang dilempar ke pasar. Harganya pun melonjak menjadi Rp 35
juta per meter persegi, dari sebelumnya hanya Rp 19 juta per meter
persegi.
"Ini bukan anomali, tapi fakta bahwa bisnis, dan
industri properti masih bergairah. Khususnya di Surabaya. Tapi, secara
umum, selama pembangunan infrastruktur digenjot, dan dipercepat, sektor
properti akan bangkit lebih cepat," imbuh Sinarto.
Hati-hati
Bukan
tanpa alasan Ketua Umum DPP REI Eddy Hussy mengungkapkan penurunan
drastis penjualan properti hingga 50 persen. Menurut Eddy, penurunan
penjualan ini disebabkan oleh berbagai. Faktor utama, tentu saja kondisi
ekonomi yang melambat.
Penurunan tersebut memaksa REI menurunkan
target penjualan, yang semula diharapkan naik 17 persen, hanya tumbuh
menjadi 10 persen.
"Dengan kondisi seperti ini, kami tidak berani
menetapkan target terlalu tinggi. Sehingga mengikuti kondisi ekonomi
saja. Target pertumbuhan 10 persen dari realisasi tahun 2014," tandas
Eddy.
Hal senada dilontarkan maestro properti Indonesia, Ciputra.
Pendiri imperium Ciputra Group ini mengatakan pasar sedang terkoreksi.
Dia pun mengimbau pengembang untuk hati-hati, dan tidak terlalu agresif
melahirkan produk baru.
"Pasar sedang terkoreksi. Tingkat koreksi itu tergantung policy
(kebijakan) pemerintah. Mau dibawa ke mana negara ini? Itu harus jelas.
Pengembang tidak bisa asal bangun kalau tidak mau produknya tak laku,"
ujar Ciputra.
Menurut Ciputra, peringatan dini bakal
terkoreksinya pasar properti lebih dalam, harus diantisipasi para
pengembang, terutama pengembang medioker, dan pengusaha yang baru
menggeluti sektor ini.
Lesunya ekonomi Nasional, kata Ciputra,
paling berdampak signifikan terhadap bisnis perkantoran, dan kondominium
atau apartemen strata. "Perkantoran sudah over supply
(kelebihan pasokan), demikian juga apartemen. Kalau sudah ada 40 persen
produknya terjual, baru dibangun. kalau masih kurang dari itu,
pertimbangkan kembali," papar Ciputra.
Sebaliknya, bila proyeknya
sudah mencapai tahap konstruksi 25 persen, harus diteruskan. Jangan
sampai macet di tengah jalan. Karena hal ini, kata Ciputra, terkait erat
dengan kepercayaan (trust) pasar.
"Kalau sekarang,
prinsip kehati-hatian dan perhitungan matang sering diabaikan. Terutama
oleh pengembang baru yang terlalu berani. Mereka kalap mencari pinjaman
dari luar negeri dengan kurs dollar AS dan bunga tinggi. Lebih baik
tidak membangun, daripada tidak bisa membayar utang," tandas Ciputra
Selasa, 05 Mei 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar