JAKARTA – Keinginan pemerintah
mengembangkan kawasan Papua sebagai basis pangan nasional dinilai hanya
akan menjadi wacana, jika pemerintah tidak terlebih dulu membuktikan
komitmen untuk membela kepentingan petani di Jawa.
Pasalnya, saat
ini petani di Jawa yang jaraknya relatif dekat dengan pusat
pemerintahan, nasibnya terabaikan oleh pemerintah. Bahkan secara
sistematis dan masif, petani di pulau terpadat penduduknya di Indonesia
itu sengaja dimatikan melalui kebijakan impor pangan yang tanpa kendali,
dan kental dengan aroma permainan perburuan rente atau rent seeking
izin impor.
Oleh karena itu, sejumlah kalangan mengkhawatirkan
jika petani di Jawa saja tidak dibela nasibnya, apalagi petani di
wilayah Indonesia Timur yang sangat jauh dari pusat pemerintahan.
Seperti diberitakan, dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia kehilangan 5
juta petani karena mereka beralih profesi karena tidak bisa lagi
mengandalkan hidup dari bercocok tanam.
Pengamat pertanian dari
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat,
mengatakan kondisi lahan tanam memang di Jawa memang telah berkurang
drasitis. Ini terjadi karena pemerintah membiarkan pengembang properti
mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi areal properti komersial.
“Jika
kemudian pemerintah ingin mengembangkan Papua sebagai pusat pertanian
nasional maka pembangunan pertanian di Jawa juga tidak bisa dibiarkan
begitu saja. Pembangunannya harus seiring, sebab jangan lupa, petani
malas menanam karena tidak ada keberpihakkan pemerintah pada petani,
baik dari serbuan produk impor, ketersediaan infrastruktur, bibit dan
pupuk murah, dan banyak lainnya,” ujar Ramdan ketika dihubungi, Kamis
(14/5).
Ia mengemukakan rencana pemerintah mengembangkan Papua,
khususnya wilayah Merauke, menjadi basis persawahan padi sebenarnya
hanya melanjutkan rencana sebelumnya, yakni proyek terpadu Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
“Kalau setiap
pemerintahan menjadikan Papua sebagai proyek maka hasilnya juga akan
tidak optimal. Bahkan anggaran yang telah dikeluarkan menjadi percuma,
lalu bagaimana pertanggungjawabannya?” papar Ramdan.
Seperti
dikabarkan, pemerintah menargetkan Kabupaten Merauke, Papua, menjadi
lumbung beras yang juga dapat memenuhi kebutuhan internasional dalam
tiga tahun ke depan. Menurut Presiden Joko Widodo, Kabupaten Merauke
memiliki lahan seluas 4,6 juta hektare (ha) yang dapat dimanfaatkan
untuk persawahan padi.
Apabila dikerjakan dengan
menggunakan peralatan dan teknologi terkini, lahan tersebut dapat
menghasilkan sekitar 60 juta ton beras setiap tahun. “Lahan seluas 4,6
juta ha itu tidak mungkin dikerjakan dengan tangan dan cangkul, tetapi
harus digarap secara mekanis,” kata Presiden di Jakarta, Rabu (13/5).
Presiden
Jokowi menuturkan pemerintah telah memutuskan 30 persen dari luas lahan
tersebut akan digarap oleh swasta, sedangkan 70 persen sisanya
diserahkan kepada BUMN. Dengan begitu, pemerintah dapat memanfaatkan
beras dari lahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Menurut
Jokowi, investor tidak perlu memikirkan pengairan untuk menggarap lahan
tersebut. Pasalnya, lahan yang ditawarkan Bupati Merauke itu t memiliki
karakteristik daratan yang rata, dengan sungai yang luas di kedua
sisinya. “Lahannya sangat datar, dan di kanan kirinya ada sungai yang
sangat luas, sehingga tidak perlu memikirkan air. Ini sangat cocok untuk
sawah padi,” ujar dia.
Dampak Sosial
Menurut
Ramdan, pengembangan di Papua sendiri pembangunannya masih membutuhkan
waktu dan biaya. Belum lagi harus membangun waduk, saluran irigasi dan
sebagainya.
“Dan jangan sampai ada kesan petani
di Jawa ditinggalkan karena akan menimbulkan dampak sosial baru. Ini
artinya, Jokowi jangan mimpi membangun Papua sebagai pusat pangan.
Jangankan Indonesia timur yang jauh dari pusat, petani di Jawa saja
tidak dibela,” tegas dia.
Ramdan menambahkan semua menteri
terkait pangan mesti bertanggung jawab atas matinya petani dan pertanian
di Indonesia. "Termasuk menteri BUMN yang sama sekali tidak membela
nasib PTPN dan petani. Kalau PTPN merugi hanya menyalahkan manajemen, "
jelas dia.
Sebelumnya, Koordinator Nasional Aliansi Desa
Sejahtera, Tedjo Wahyu Djatmiko, mengungkapkan modus kejahatan lama
berupa perburuan rente impor pangan yang telah berlangsung puluhan tahun
secara sistemik telah mematikan petani dan sektor pertanian pangan di
Indonesia.
Bahkan, telah menjadikan Indonesia
yang dikenal sebagai negara agraris itu, kini justru menjadi negara
importir pangan terbesar di dunia, dengan nilai impor mencapai 12 miliar
dollar AS setahun. Nilai impor pangan Indonesia, berpenduduk 250 juta
jiwa atau terbesar keempat di dunia, melebihi India dan Tiongkok yang
keduanya memiliki penduduk lebih banyak dari Indonesia.
Dihubungi
terpisah, pakar ekonomi pertanian UGM, Jangkung Handoyo Mulyo, menilai
selama ini negara telah membiarkan pasar komoditas pangan dalam negeri
dikuasai oleh kartel importir sehingga mematikan petani dan membahayakan
kedaulatan negara di masa depan.
Indonesia dari tahun ke tahun
semakin bergantung kepada pangan impor padahal pangan adalah elemen
terpenting bagi kedaulatan sebuah bangsa. “Untuk itu negara perlu segera
turun tangan jika ditengarai ada indikasi bahwa pasar suatu komoditas
telah mengarah ke oligopoli,” tegas dia
Kamis, 14 Mei 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar