BREAKING

Kamis, 14 Mei 2015

Bela Petani di Jawa Dulu Sebelum Mulai di Papua

JAKARTA – Keinginan pemerintah mengembangkan kawasan Papua sebagai basis pangan nasional dinilai hanya akan menjadi wacana, jika pemerintah tidak terlebih dulu membuktikan komitmen untuk membela kepentingan petani di Jawa.

Pasalnya, saat ini petani di Jawa yang jaraknya relatif dekat dengan pusat pemerintahan, nasibnya terabaikan oleh pemerintah. Bahkan secara sistematis dan masif, petani di pulau terpadat penduduknya di Indonesia itu sengaja dimatikan melalui kebijakan impor pangan yang tanpa kendali, dan kental dengan aroma permainan perburuan rente atau rent seeking izin impor.

Oleh karena itu, sejumlah kalangan mengkhawatirkan jika petani di Jawa saja tidak dibela nasibnya, apalagi petani di wilayah Indonesia Timur yang sangat jauh dari pusat pemerintahan. Seperti diberitakan, dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia kehilangan 5 juta petani karena mereka beralih profesi karena tidak bisa lagi mengandalkan hidup dari bercocok tanam.

Pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan kondisi lahan tanam memang di Jawa memang telah berkurang drasitis. Ini terjadi karena pemerintah membiarkan pengembang properti mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi areal properti komersial.

“Jika kemudian pemerintah ingin mengembangkan Papua sebagai pusat pertanian nasional maka pembangunan pertanian di Jawa juga tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pembangunannya harus seiring, sebab jangan lupa, petani malas menanam karena tidak ada keberpihakkan pemerintah pada petani, baik dari serbuan produk impor, ketersediaan infrastruktur, bibit dan pupuk murah, dan banyak lainnya,” ujar Ramdan ketika dihubungi, Kamis (14/5).

Ia mengemukakan rencana pemerintah mengembangkan Papua, khususnya wilayah Merauke, menjadi basis persawahan padi sebenarnya hanya melanjutkan rencana sebelumnya, yakni proyek terpadu Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

“Kalau setiap pemerintahan menjadikan Papua sebagai proyek maka hasilnya juga akan tidak optimal. Bahkan anggaran yang telah dikeluarkan menjadi percuma, lalu bagaimana pertanggungjawabannya?” papar Ramdan.

Seperti dikabarkan, pemerintah menargetkan Kabupaten Merauke, Papua, menjadi lumbung beras yang juga dapat memenuhi kebutuhan internasional dalam tiga tahun ke depan. Menurut Presiden Joko Widodo, Kabupaten Merauke memiliki lahan seluas 4,6 juta hektare (ha) yang dapat dimanfaatkan untuk persawahan padi.

Apabila dikerjakan dengan menggunakan peralatan dan teknologi terkini, lahan tersebut dapat menghasilkan sekitar 60 juta ton beras setiap tahun. “Lahan seluas 4,6 juta ha itu tidak mungkin dikerjakan dengan tangan dan cangkul, tetapi harus digarap secara mekanis,” kata Presiden di Jakarta, Rabu (13/5).

Presiden Jokowi menuturkan pemerintah telah memutuskan 30 persen dari luas lahan tersebut akan digarap oleh swasta, sedangkan 70 persen sisanya diserahkan kepada BUMN. Dengan begitu, pemerintah dapat memanfaatkan beras dari lahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Menurut Jokowi, investor tidak perlu memikirkan pengairan untuk menggarap lahan tersebut. Pasalnya, lahan yang ditawarkan Bupati Merauke itu t memiliki karakteristik daratan yang rata, dengan sungai yang luas di kedua sisinya. “Lahannya sangat datar, dan di kanan kirinya ada sungai yang sangat luas, sehingga tidak perlu memikirkan air. Ini sangat cocok untuk sawah padi,” ujar dia.

Dampak Sosial

Menurut Ramdan, pengembangan di Papua sendiri pembangunannya masih membutuhkan waktu dan biaya. Belum lagi harus membangun waduk, saluran irigasi dan sebagainya.

“Dan jangan sampai ada kesan petani di Jawa ditinggalkan karena akan menimbulkan dampak sosial baru. Ini artinya, Jokowi jangan mimpi membangun Papua sebagai pusat pangan. Jangankan Indonesia timur yang jauh dari pusat, petani di Jawa saja tidak dibela,” tegas dia.

Ramdan menambahkan semua menteri terkait pangan mesti bertanggung jawab atas matinya petani dan pertanian di Indonesia. "Termasuk menteri BUMN yang sama sekali tidak membela nasib PTPN dan petani. Kalau PTPN merugi hanya menyalahkan manajemen, " jelas dia.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera, Tedjo Wahyu Djatmiko, mengungkapkan modus kejahatan lama berupa perburuan rente impor pangan yang telah berlangsung puluhan tahun secara sistemik telah mematikan petani dan sektor pertanian pangan di Indonesia.

Bahkan, telah menjadikan Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris itu, kini justru menjadi negara importir pangan terbesar di dunia, dengan nilai impor mencapai 12 miliar dollar AS setahun. Nilai impor pangan Indonesia, berpenduduk 250 juta jiwa atau terbesar keempat di dunia, melebihi India dan Tiongkok yang keduanya memiliki penduduk lebih banyak dari Indonesia.

Dihubungi terpisah, pakar ekonomi pertanian UGM, Jangkung Handoyo Mulyo, menilai selama ini negara telah membiarkan pasar komoditas pangan dalam negeri dikuasai oleh kartel importir sehingga mematikan petani dan membahayakan kedaulatan negara di masa depan.

Indonesia dari tahun ke tahun semakin bergantung kepada pangan impor padahal pangan adalah elemen terpenting bagi kedaulatan sebuah bangsa. “Untuk itu negara perlu segera turun tangan jika ditengarai ada indikasi bahwa pasar suatu komoditas telah mengarah ke oligopoli,” tegas dia

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 GANUFA | All Rights Reserved
Design by : Rumah Entreprenenur